MALAIKAT PENOLONG




Pria itu kembali melewati rumah yang berada di belokan jalan ini. Entah ini sudah yang keberapa kalinya ia melewati rumah ini. Dan seperti biasa, di depan pagar rumah itu selalu ada seorang anak laki-laki yang kira-kira berumur tujuh tahun. Penampilannya berantakan. Badannya kotor, bajunya kotor, dan ia sedang tiduran sambil beralaskan kardus. Kelihatan sekali kalau anak laki-laki itu berusaha bertahan dari dinginnya udara malam. 



Jika biasanya pria itu hanya akan melewati anak laki-laki itu, kali ini berbeda. Sebenarnya ia sudah mendiskusikan hal ini kepada istrinya beberapa hari yang lalu dan istrinya itu setuju. Pria itu pun turun dari mobilnya dan berjalan ke arah anak laki-laki tersebut. 
“Halo, nama kamu siapa?” Tanyanya ramah. 
Anak laki-laki itu pun menoleh ketika menyadari ada seseorang di sebelahnya. Anak laki-laki itu melihat seorang pria yang kira-kira berumur tiga puluh tahun sedang berjongkok di sebelahnya. Ia pun bertanya kepada pria itu. “Paman siapa?” 
Pria itu tersenyum ramah. Tanpa menghapus senyum dari wajahnya, pria itu bertanya lagi. “Kamu lagi ngapain di luar malam-malam begini?” 
Anak laki-laki itu pun menjadi murung. Setelah jeda beberapa detik, akhirnya anak tersebut berbicara. “Ayah nggak ngebolehin aku tidur di rumah. Katanya, aku ini cuma pengganggu yang nggak pantes tinggal di rumah itu.” 
Pria tersebut mengerutkan dahinya. “Oh ya? Ibumu dimana?” 
“Ibu udah meninggal gara-gara di dorong di tangga... sama ayah.” 
Melihat anak di hadapannya ini memasang raut sedih, pria tersebut bertanya lagi sambil memasang senyum. “Begini, gimana kalau mulai sekarang kamu tinggal sama Paman aja? Kamu bakal tinggal di rumah bagus, punya saudara-saudara yang baik, dan Paman bakal beliin kamu mainan yang kamu mau. Gimana?” 
Anak laki-laki tersebut memasang senyum cerah. Ia berpikir bahwa hidup seperti perkataan pria tersebut lebih baik dibanding hidupnya sekarang yang sering diusir dari rumahnya. Namun, senyumnya hilang seketika ketika ia memikirkan sesuatu. “Tapi emangnya... ayah bakal ngebolehin aku tinggal di rumah paman?” 
Pria itu pun tersenyum ramah. “Tenang aja. Paman bakal ngomong sama ayahmu dulu ya? Pasti boleh kok. Kamu tunggu di sini ya?” Setelah itu, pria itu pun masuk ke dalam rumah anak laki-laki tersebut. 
Setelah beberapa saat menunggu, akhirnya pria tersebut keluar dari rumah anak laki-laki itu dan menghampirinya. “Yuk, ikut sama Paman. Udah dibolehin sama ayahmu kok.” Pria itu berkata sambil tersenyum dan menggandeng anak laki-laki itu kemudian mengajaknya masuk ke dalam mobilnya. 
Sesampainya di rumah pria tersebut, ia dan anak laki-laki itu turun. Di pintu rumahnya, istrinya sedang menunggu bersama dengan kedua anak yang lain. Istrinya itu menyapa anak laki-laki itu dengan ramah. “Halo, mulai sekarang kamu tinggal sama tante ya di sini.” Ucapnya sambil tersenyum ramah. Ia pun memperkenalkan kedua anak yang berada di sisinya kepada anak laki-laki itu. “Nah, kenalin, ini saudara-saudara kamu. Kamu baik-baik ya sama mereka.” 
Kedua anak tersebut mengalami hal yang sama dengan si anak laki-laki. Salah satu dari kedua anak itu pun menghampiri si anak laki-laki. “Hai! Aku punya mainan mobil-mobilan baru lho. Nanti kita main bareng ya!” 
Si anak laki-laki ini pun mengangguk dengan senang. Setelah perkenalan singkat tersebut, si pria pun pamit kepada istrinya. Ia pamit dengan alasan ingin membeli bahan makanan untuk makan malam terlebih dahulu. 
Setelah meninggalkan rumahnya, pria itu pun mengendarai mobilnya ke arah rumah yang baru saja dihampirinya beberapa saat yang lalu. Rumah itu adalah rumah anak laki-laki yang ditolongnya tadi. Setelah mematikan mesin mobilnya, ia pun berjalan ke arah rumah yang pintunya tak terkunci tersebut. Di dalamnya, terdapat ayah si anak laki-laki tadi yang terikat di sebuah kursi. 
Ayah anak laki-laki itu meronta dengan kuat sambil memasang ekspresi ketakutan melihat si pria yang baru saja masuk ke dalam rumahnya sambil membawa gergaji mesin. Namun percuma, seberapa pun kuatnya ia meronta, ikatan di tangan dan kakinya tak akan pernah terlepas. Itu karena si pria mengikatnya dengan keras. 
Si pria yang baru saja memasuki rumahnya itu pun berucap sambil memasang ekspresi mengerikan. Sambil mengangkat gergaji mesin yang dipegangnya, ia pun berkata, “Sudah puas menyiksa dan mengusir anakmu dari rumah, hah?! Bahkan istrimu pun kamu bunuh. Tak tahukah kamu bahwa di dunia ini, masih banyak suami-istri yang ingin punya anak?! Dan kamu yang sudah punya anak malah seenaknya memperlakukan anakmu dengan tak baik seperti itu!” 
Ayah anak laki-laki itu pun meronta dengan lebih keras. Ada binar ketakutan di dalam matanya. “Ampuni aku! Ampun! Aku bersalah—AKHH!!” 
Tubuh ayah anak laki-laki tersebut tak bergerak lagi. Dagingnya sudah hancur terkena gergaji mesin yang memotong tubuhnya tanpa ampun itu. Darahnya bermuncratan kemana-mana. Si pria itu pun mematikan gergaji mesinnya ketika dirasanya itu sudah cukup. Ia tersenyum puas. Menurutnya, ia sudah melakukan hal yang benar dengan cara membunuh para orang tua yang menyia-nyiakan anak mereka seperti itu. Ia pun memasang senyum “ramah” seperti biasanya. Setelah memunguti daging sang ayah yang sudah tak berbentuk, ia pun bangkit dari duduknya. Ia sudah mendapatkan bahan makanan untuk makan malamnya. Lalu, ia pun membakar rumah itu dan masuk ke mobilnya sambil memasang wajah tenang dan pulang ke rumahnya. 
Sekarang, pria itu, istrinya, kedua anak angkat mereka, dan anak laki-laki tersebut sedang duduk mengelilingi meja makan sambil menyantap daging dihadapan mereka. 
“Bagaimana? Dagingnya enak kan?” Tanya si pria kepada si anak laki-laki. 


Si anak laki-laki pun tersenyum riang. “Iya! Dagingnya enak banget! Udah lama aku nggak makan daging seempuk ini.” 

Si pria pun tersenyum puas. Ia senang melihat anak laki-laki dihadapannya tersenyum riang saat berkata bahwa dagingnya enak. Tentu saja, anak laki-laki itu tak tahu daging siapakah yang sedang dimakannya. 

1 comment:

Konser Kebhinekaan Suluh Nusantara

Pada tanggal 14 Desember 2019 kemarin, 1.865 siswa dan siswi, guru dan karyawan Sekolah Santa Maria Ciebon, serta para seniman Nusantara ...